Beberapa waktu lalu ada salah seorang karyawan yang curhat terkait dengan situasi dan hubungan kerja yang sudah tidak nyaman lagi dengan bosnya. Nama karyawan ini sebut saja si Wati, mengalami kegalauan tingkat tinggi dan rumit, jadi bayangkan tampangnya kayak-kayak Einstein sedang mikirin rumus Fisika..hehe. Penyebab utamanya karena ketidak cocokan kerja dengan bos barunya selama setahun ini. Siang itu, tiba-tiba Wati datang ke ruangan saya dan minta waktu untuk curhat. Kira-kira beginilah dialognya.
“Pak, boleh saya minta waktu untuk ngobrol dan curhat dengan Bapak?” tanya Wati kepadaku. “Silakan Wati, ada yang bisa saya bantu atau ada sesuatu hal yang penting?” tanyaku pada Wati.
Wati pun mulai bercerita, “Pak, sejujurnya saat ini saya galau semenjak bos baru setahun terakhir ini. Saya tidak bisa kerjasama dengan bos baru ini dan sepertinya saya harus memutuskan apakah saya harus resign atau saya tetap bekerja dengan kondisi yang saat ini terjadi”. Saya pun sedikit kaget, “Wait-wait…, tenang n cool dulu Wati, sebenarnya apa yang terjadi? Coba di explore lebih dalam lagi sambal minum kopi dulu ….” Pintaku pada Wati.
Akhirnya Wati pun bercerita: “Begini Pak, semenjak bos baru ini datang, saya betul-betul binggung karena pola kerja yang tidak jelas dan tidak sistematis. Maaf-maaf saya tidak bisa belajar dan menimba ilmu dari bos saya ini. Sedikit inisiatif dan anti kritik. Jika saya coba mengajukan pertanyaan/challenge atas suatu ide yang dilontarkan, maka langsung marah. Padahal beberapa kebijakkan nya sering tidak sinkron dan bertentangan dengan peraturan perusahaan. Saya pun mempertanyakan integritas dari bos saya ini. Trus, karena saya men-challenge maka hal ini akan di masukkan dalam hati taking as personal. Akhirnya hubungan saya pun memburuk akhir-akhir ini”.
“Trus trus ….” Aku pun terus menyimak curcolnya.
“Yah, akhir-akhir ini saya merasakan kerja sudah tidak nyaman, tidak happy, dan menurut saya ini waktunya saya harus memutuskan apakah resign atau tetap di sini dengan kondisi heart eating, makan hati, saya akan stress dan cepet tua nanti…” sambal meneteskan air mata Wati terus bercerita.
“Trus trus…apa yang bisa saya bantu?” tanyaku lagi.
“Kalau Bapak jadi saya kira-kira sarannya gimana? Langkah apa yang harus saya lakukan atas kondisi ini?” Tanya Wati kembali.
Saya mencoba menjawab sambil menenangkan si Wati yang sedang galau akut..hehe, “Begini Wati, kalau saya jadi kamu, sebelum memutuskan maka saya akan bertanya dalam diri dulu dengan tiga pertanyaan simple. Pertama, apakah saya masih bisa BELAJAR (Learn something) dari orang-orang sekitar kita, termasuk belajar dari bos mu. Kedua, apakah saya masih bisa TUMBUH (growth) di lingkungan saat ini? Dan ketiga, apakah saya masih menaruh RESPECT terhadap perilaku dari bos ku saat ini?”
“Gimana, apakah ketiga hal tersebut masih bisa kau dapatkan dengan kondisi sekarang ini?” tanyaku.
“Jujur, yang saya rasakan setahun terakhir ini, saya hampir tidak mendapatkan ketiga hal tersebut, bahkan saya sudah kehilangan RESPECT dan TRUST terhadap bos saya ini” ujarnya.
“Tapi, coba pikir-pikir lagi dengan tenang dan jernih sebelum memutuskan. Istikhoroh dulu dan konsultasikan dulu dengan suamimu agar segala keputusan yang diambil menjadi keputusan terbaik untuk karir dan kehidupan mu. You are responsible for your life, not others. You have to choose and decide it.” nasehatku ke Wati.
“Iya Pak, terima kasih atas nasehat dan feedbacknya. Insyallah bulan depan saya akan mengambil keputusan terbaik. Saya akan pertimbangkan ketiga pertimbangan yang Bapak sampaikan” ujar Wati sambal mengusap air mata yang masih menetes.
Lanjut …..
#growth #respect #trust
@smart_toyo