“Kakek saya dulu tinggal dikampung di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, hanya seorang pedagang kampung, belanja ke pasar 2 kali dalam satu minggu, kerja santai dari jam 9 pagi – 2 siang, jika adzan tiba tak lupa sholat di mushola yang tak jau dari rumahnya. Sekolah hanya sampai SD saja, Mempunyai 7 orang anak, semua anaknya sekolah sampai perguruan tinggi. Sudah gitu tujuh anaknya pun masih diberikan warisan masing-masing 1 sawah dan 1 kebun. Mungkin kalau diappraisal saat ini jumlah warisan bisa 4-5 milyar. Junlah uang yang tidak kecil. Padahal seorang pedagang kampung dengan jam kerja yang hanya 5 jam sehari, santai dan tidak pernah terlihat stress. Kok bisa ya kakekku dulu bisa hidup seperti itu ya? Santai tapi bisa kaya.”
Cerita kawan saya, Uda Fak dalam sebuah diskusi WAG teman-teman kampus FEBUI.
Seperti tak mau kalah, aku pun juga berbagi kisah, begini “Kakekku, ayah dari ibuku, seorang petani padi di kampung kecil di daerah Baki Sukoharjo, bahkan tidak sekolah, mempunyai 8 anak, semuanya dibuatkan rumah joglo dengan ukuran rumah minimal 500 m2 plus kebun bisa 800 m2, plus masing-masing masih diberikan warisan kebun untuk anak perempuan dan sawah untuk anak laki-laki. Kalau di appraisal sekarang aset-aset tersebut bisa mencapai 7-8 milyar. Hanya petani padi dan ternak kerbau untuk sarana bajak sawah. Ngak pernah lembur sampai subuh seperti auditor dan kerja yang tidak ngoyo. Ngak punya hutang bank, ngak punya asuransi, ngak punya saham. Bahkan ngak mengenal sama sekali bank dan asuransi. Hidup santai tapi bisa kaya dan tentram. Bahkan warisan sampai bisa ke anak-cucu. Ingat hanya seorang petani padi yang kerjanya nyangkul di sawah lho ya.”
Akhirnya diskusi WAG pagi itu seruu masing-masing menceritakan kisah kehidupan kakek dan ayahnya yang hidup dikampung, maklum di WAG itu 90% adalah perantau dari kampung.
Dikarenakan member WAG ini adalah temen-temen ekonom alumni FEBUI, yang konon Fakultas Ekonomi terbaik di Indonesia (geer dikit..), maka pembicaraan pun nyrempet-nyrempet ke arah teori ekonomi dan keuangan. Banyak pertanyaan yang lontarkan teman-teman sebagai bahan diskusi pagi itu.
- Mengapa dulu kakek dan ayah kita yang hidup dikampung bisa makmur dan kaya? padahal kerja nya santai lho
- Padahal kakek dan ayah kita dulu tidak pernah belajar ilmu ekonomi dan keuangan, seperti kita yang minimal kuliah 4 tahun di FEBUI?
- Sebaliknya, mengapa kita-kita tidak bisa semakmur dan sekaya kakek dan ayah kita? Kakek dan ayah kita ngak punya hutang, sedangkanmengapa kita masih banyak punya hutang?
- Kakek & ayah kita, kerja secukupnya, tidak pernah lembur sampai subuh seperti dulu saya jadi auditor, tapi mengapa mereka lebih makmur dan kaya?
- Nah, apakah ada yang salah dengan kita, generasi jaman now? kerja keras tapi aset tidak bertambah?
Perdebatan di atas akhirnya menghasilkan 2 kesimpulan penting namun sederhana yang menjawab pertanyaan mengapa mereka kaya dan generasi now tetap miskin:
1. Kakek & ayah tak kenal hutang bank (riba)
2. Kakek & ayah mampu membedakan NEED vs WANT
I. Mari kita bahas poin pertama, TAK KENAL HUTANG BANK (RIBA)
Fenomena jaman now, beli rumah, beli mobil, beli motor, beli HP, beli jam tangan, beli furniture, beli TV, semuanya dengan hutang bank. Bahkan beli tas dan baju pun banyak juga yang hutang, minimal dengan kartu kredit. Bahkan beli kuburan pun, ada paket cicilan juga. Sepertinya hutang sudah menjadi bagian hidup kita. Apalagi yang pernah belajar ekonomi, dikatakan bahwa Hutang itu keren karena sebagai leverage (faktor pengungkit), orang yang dikasih hutang adalah orang yang dipercaya oleh bank.
Saya sering mengamati fenomena sekitar kita, generasi jaman now, dimana generasi ini sudah sekolah tinggi, bekerja sudah sangat keras, lembur sampai pagi, terkadang kerja sabtu-minggu, tapi malah hutang menumpuk dan aset tidak nambah-nambah. Tidak disadari, hal ini disebabkan banyaknya hutang bank dengan bunga (riba) yang tinggi. Jadi kita bekerja keras untuk membayar bunga bank. Jadi kita yang kerja keras, bank yang semakin kaya. Wajar aset kita ngak nambah-nambah dan tetap miskin. Jangan-jangan jika dihitung dengan detail, total aset bersih kita (total asset dikurangi dengan hutang) malah negatif. Boro-boro biacara warisan yang akan kita siapkan buat anak-anak kita nanti, untuk bayar hutang saja banyak yang ngos-ngosan. Inilah dampak jangka panjang dari hutang (riba) yang masif ini. Riba yang masif akan memberatkan perekonomian, baik bagi individu, rumah tangga ataupun komunitas (negara) ya.
Maka wajar jika semua agama cenderung mengharamkan transaksi riba ini, karena efek jangka panjang yang tidak sehat, menghancurkan bak lintah darat. Seandainya terpaksa hutang bank, secukupnya saja.
Beda dengan kakek & ayah kita dulu, makmur karena tak mengenal transaksi riba ini. Hidup tenang, tentram dan makmur. Mereka beli kebun dan sawah dengan cash keras lho.. keren khan!? Bagaiman dengan kita?
II. Faktor kedua, mampu membedakan NEED vs WANT
Ada seorang kawan dari Madiun menambahkan cerita lain ‘Dulu pas aku sekolah minta mainan PS aja ngak dibeli-beliin, padahal tau Bapakku mampu dan punya duit untuk beli itu. Kenapa ya dulu Bapak ku begitu?”
Saya dulu juga sama, saat diterima SMA saya minta dibelikan motor baru, tapi di tahun pertama SMA di suruh naik sepeda dan baru tahun kedua dibelikan sepeda motor, itupun sepeda motor bekas. Padahal saat itu saya yakin orang tua saya mampu. Sebagai anak remaja, saat itu saya sempet ngambek kok bapak tidak membelikan motor baru?!.
Saya baru tau jawabannya kemudian, ternyata Bapak saya mampu membedakan konsep NEED vs WANT, antara KEBUTUHAN vs KEINGINAN. Apakah motor baru itu need atau want, ternyata motor baru itu bukan need tapi want saja. Masih bisa digantikan dengan sepeda ataupun motor bekas. Kakek kita mampu menunda sedikit kenikmatan saat ini demi kebahagian dan kemakmuran jangka panjang. Seakan mereka tau bahwa sebesar apapun penghasilan kita, tak akan pernah mampu memenuhi gaya hidup.
Pun, seperti dalam kisah temen saya dari Madiun itu, dimana saat itu dia minta mainan PS baru itu, ternyata PS baru itu hanya ‘want’ saja, bukan “need”. Coba bandingkan dengan kita, kita selalu memberikan anak kita dengan mainan terbaru atau PS terbaru. Bahkan sering tergoda juga membeli android dan Iphone edisi terbaru, padahal edisi sebelumnya masih ada, padahal fungsinya sama saja dan fitur yang digunakan itu-itu saja. Kenapa kok beli? karena gengsi dan gaya dong, Bro!.
Sering sekali, generasi jaman now tidak mampu membedakan antara NEED vs WANT. Sering tergoda untuk menuruti nafsu keingingan (want) daripada kebutuhan (need).
Saya sering merenung saat pulang kampung, mengapa fenomena jaman now ini terjadi, disaat orang sekolah lebih tinggi dan bekerja lebih keras KOK malah tertinggal jauh kesejahteraan dan kemakmurannya (wealth) dibandingkan generasi kakek dan ayah kita dulu.? Pasti ini ada yang salah kan!
Jadi jika kamu masih merasa masih miskin, dimana total aset bersih minus, mungkin saatnya kamu contek saja dua tips sederhana dari kakek & ayah di atas; hindari/ kurangi hutang bank dan bedain need vs want. Dijamin hidupmu akan menjadi lebih tentram dan makmur. TIDAK SEMISKIN SEKARANG lagi!!
#SAATNYABERUBAH
#SaatnyaMenjadiLebihBaik #SaatnyaBerubah #newMindset #AnakKampung
#FinanceforNonFinance #SOPinStories
Salam pembelajar, Martoyo
Depok, 13 Jan 21