Ayah,
Di saat yang lain masih terlelap tidur, engkau sudah bangun menyongsong hari
Jauh sebelum adzan subuh berkumandan, engkau bangunkan tubuhmu dengan sangat perlahan
Sangat perlahan, demi tidak membangunkan istri dan anak-anak tercintamu
Menanak nasi dan memasak air menjadi rutiniitas pagi, agar sudah siap saat anak-anakmu terbangun
Membersihkan kandang dan menyiapkan makan pagi untuk kelima kerbau peliharaan kau lakukan setiap pagi
Kerbau yang membantu tuk membajak sawah itu kau pelihara dengan sepenuh hati, bagai anak-anakmu sendiri
Kau bekerja di sawah dari pagi sampai sore hari
Kantormu adalah sawah, temanmu adalah tanaman padi yang menghidupi keluargamu
Mencangkul sawah, membersihkan rumput dan memupuk tanaman adalah job description utamamu
Bagimu bertani adalah tidak sekedar sumber pendapatan, tapi juga kebahagiaan dan panggilan jiwamu
Ayah,
Meskipun kau hanya lulusan Sekolah Rakyat (setingkat Sekolah Dasar), namun cita-citamu tinggi tuk menjadikan kelima anakmu menjadi sarjana
Kau selalu bekerja keras demi kesuksesan anak-anakmu
Tekadmu sungguh kuat tuk bisa menyekolahkan anak-anakmu
Pengorbanan apapun kau lakukan demi itu semua
Saat anakmu minta sepeda motor baru, kau pun menasehati kami untuk tidak tergoda dan tetap focus sekolah
Kau rela tidak jajan di warung soto di pinggir sawah itu, demi untuk sekolah kelima anakmu
Masakkan istri pun menjadi masakan terenak bagimu
Kau pun rela menunda kebahagiaan untuk dirimu demi menyekolahkan anakmu
Semua kau lakukan demi masa depan anak-anakmu
Ayah,
Di saat anak-anakmu sakit, kau yang pertama mendekap dengan erat
Kau gendong dengan selendang batik
Kau pijat dengan penuh kasih sayang
Semua kau lakukan ditengah kesibukan disawah
Semua kau lakukan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan
Ayah,
Walau anakmu empat laki-laki, belum pernah tanganmu menampar mereka
Saat anak putri pertama dan semata wayangmu telat pulang dari kampus di kota Solo
Kau rela mengayuh sepeda ontel kesayanganmu tuk menjemputnya di tengah guyuran hujan deras yang berjarak 10 km
Saat anak-anakmu telat pulang ke rumah, maka kau pun absen satu-satu, walau mereka sudah dewasa
Ayah,
Pantas saja anak-anakmu begitu hormat dan segan
Pantas saja anak-anakmu MALU
Malu jika mengecewakanmu
Malu untuk menjadi anak nakal
Malu jika tidak bisa membalas kebaikanmu
Malu untuk berbuat yang melenceng dari nasehatmu
Malu jika tidak bisa mencontohmu suatu saat nanti menjadi seorang Ayah
Ayah,
Bahkan dimasa senjamu pun, di usia 76 tahun
Kau masih sering menelepon menanyakan kabar kelima anakmu, yang tersebar diberbagai kota di Jakarta, Semarang, Kediri dan Kebumen
Nasehatmu pun didengarkan oleh para tetangga sekitar dari remaja sampai para orang tua
Jika ada percekcokan antar tetangga, kau sering menjadi juru damai
Begitu dipercayanya, saat tetangga Joko dan Tono cekcok, diam-diam Joko datang ke rumah untuk curhat dan lucunya keesokan harinya pun Tono diam-diam juga datang ke rumah untuk tujuan yang sama. Akhirnya pun scenario perdamaian dilakukan dengan mudah
Cerita itu tidak hanya sekali tapi saya dengar berkali-kali, kau sering diminta menjadi juru damai
Ayah,
Sudah lebih 23 tahun aku merantau di Jakarta, selama itu pula aku selalu rindu pulang kampung
Hanya karena rindu mendengarkan cerita dan pituturmu (nasehat)
Begitu banyak pitutur yang sudah engkau bagikan kepada kami, anak-anakmu
Ini sedikit pitutur yang mampu saya ingat itu:
Anakku, jadilah orang yang rendah diri dan mawas diri karena manusia punya 3L: Lali (lupa), Luput (kehilangan) & Leno (apes)
Anakku, jadilah kau pribadi yang “nyuguh doyan ngombe” atau bahasa kerennya walk the talk, jika nasehati anak tidak meroko ya kamu jangan merokok
Anakku, jadi orang Ojo Dumeh (jangan mentang-mentang), Ojo Gumunan, dan Ojo Kagetan.
Anakku, menjadilah pribadi yang mengejar kebahagiaan batin terlebih dahulu dibandingkan bahagia lahir, jangan dibalik. Menjadi Bahagia, bukan pengen terlihat Bahagia
Anakku, ingatlah hak kita setelah menikah itu hanya separuh saja, karna pasangan kita dalam Bahasa jawa di sebut ‘garwo’ atai sigaraning jiwo (belahan/ separuh jiwa). Sisa kan setengah ruangnya untuk pasangan kita
Anakku, jadilah pribadi yang “nrimo ing pangdum”, syukuri nikmat yang kau terima berapapun jumlahnya, jangan iri dengan orang lain
Anakku, janganlah adigang adigung adiguna, jangan sekedar mengandalkan kekuatan, kekuasaan, dan kepandaian yang dimiliki
Anakku, bisalah berempati kepada orang lain
Ayah,
Di usia senjamu kau pun selalu berkeinginan untuk tidak merepotkan anak-anakmu
Aku pun sering mendengar doa-doa terindah dari lisanmu, doa untuk kebaikkan anak-anakmu, cucu-cucumu dan cicit-cicitmu
Ayah,
Sepertinya tinta ini tak akan mampu menuliskan semua pengorbanan dan pituturmu selama ini
Sering air mata ku tertumpah tak tertahankan saat sungkeman dengan mu di Raya Idul Fitri
Menangis mengingat perjuanganmu yang begitu besar buat keluarga tercinta
Yang tentu tak kan mampu ku membalasnya
Disaat wabah Covid19 akhir-akhir ini, kamu pun sering telpon ke kami disertai doa tulus untuk keselamatan dan kesehatan anak-anak, cucu-cucu dan cicit-cicitmu
Hanya doa terbaik yang bisa kupanjatkan untukmu “semoga Allah SWT menganugerahkan kesehatan, hidayah, rahmat, keberkahan usia, dimudahkan menjalani ibadah dan diringankan menjalani masa senjamu”
Ayah,
Bagiku, engkau adalah role model dan inspirator terbaikku, yang menjadi motivator saat anak-anakmu lemah dan galau
Ya Allah, mampukanlah aku menjadi seorang ayah yang menjadi kebanggaan anak-anak dan pasangan, yang mampu membimbingnya ke jannahMu.
Ya Allah, Semoga aku diberikan kekuatan untuk mencontoh Ayahku, walau hanya setengahnya saja.
Ditulis dengan penuh cinta untuk Ayah tercintaku, Narto Harjono.
Dari Anandamu, Martoyo
Depok, 12 April 2020